Puisiws rendra : Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon. Inilah sajakku, seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas, dengan kedua tangan kugendong di belakang, dan rokok kretek yang padam di mulutku. Aku memandang zaman. Aku melihat gambaran ekonomi di etalase toko yang penuh merk asing, dan jalan-jalan bobrok antar desa yang tidak memungkinkan pergaulan. GUMAMKUYA ALLAH W.S. RENDRA Angin dan langit dalam diriku, gelap dan terang di alam raya, arah dan kiblat di ruang dan waktu, memesona rasa duga dan kira, adalah bayangan rahasia kehadiran-Mu, ya Allah! Serambut atau berlaksa hasta entah apa bedanya dalam penasaran pengertian. Musafir-musafir yang senantiasa mengembara. Waktuitu aku berkata: "kiamat boleh tiba. Hidupku penuh makna." Wah, aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini. Dan apabila aku menulis sajak aku juga merasa bahwa kemarin dan esok adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan sama saja. Langit di luar langit di badan bersatu dalam jiwa. Sudah, ya, Ma! Jakarta, 24 Juli 1992 Sumber: Puisi-Puisi Cinta (2018) WillibrordusSurendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Memandangwajahmu dari segenap jurusan. Mengucapkan puisi yang tak bisa ia tuliskan. Puisi Ws Rendra Dalampuisi Doa Orang Lapar dan Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang karya W.S Rendra, setiap bait memiliki totalitasnya. Berikut analisis dari kedua puisi diatas: Dalam kedua puisi diatas, bunyi puisi juga sangat ditonjolkan. Keduanya memiliki bunyi Kakofoni (cacophony) yaitu bunyi yang tidak merdu dan cenderung parau. Dalampuisi Nyanyian Angsa karya W.S. Rendra, alur yang muncul adalah alur rumit, yang menghadirkan kejutan nasib dari sang tokoh dari awal, tengah, dan akhir dari pemadatan/ inti peristiwanya. Waktu ditandakan sebagai jam 1 siang, matahari masih sedang panas-panasnya. Alur tersebut mempertemukan Maria Zaitun dengan koster dan pastor gereja 61k7bCL. - Karya sastra menjadi sebuah curahan hati dari seorang pengarang. Dapat dituangkan dalam bentuk cerita maupun puisi. Salah satu penyair atau penulis puisi terkenal di Indonesia adalah Rendra. Puisi-puisinya terus melegenda di Indonesia. Willibrordus Surendra Broto Rendra lahir pada 7 November 1935 di Solo. Salah satu puisi yang terkenal dari Rendra adalah Telah Satu. Berikut puisinya Telah Satu Gelisahmu adalah kita bergandengandalam hidup yang nyata,dan kita cintai. Lama kita saling bertatap matadan makin mengertitak lagi bisa adalah penitiyang telah adalah kapalyang telah berlabuh dan ditambatkan. Kita berdua adalah lavayang tak bisa lagi diuraikan. Baca juga Struktur Batin Puisi beserta Penjelasannya Makna puisi Telah Satu Puisi tersebut bermakna percintaan atau romantisme. Tentang kebersamaan dan kepercayaan yang dilalui bersama baik keadaan senang atau duka. Puisi Telah Satu juga menceritakan seorang kekasih yang ia cintai selama ini namun jarang bertemu. Sepasang kekasih yang diceritakan dalam puisi tersebut meyakini bahwa cinta yang dimilikinya semakin kuat dan tidak akan terpisah untuk selamanya. Dalam puisi tersebut, penulis menghayati perasaan yang sedang dirasakan. Di mana ada keyakinan bahwa tidak akan terpisahkan dengan kekasihnya karena sudah ditakdirkan untuk bersatu selamanya. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Puisi Telah Satu Karya Rendra Telah Satu Gelisahmu adalah gelisahku. Berjalanlah kita bergandengan dalam hidup yang nyata, dan kita cintai. Lama kita saling bertatap mata dan makin mengerti tak lagi bisa dipisahkan. Engkau adalah peniti yang telah disematkan. Aku adalah kapal yang telah berlabuh dan ditambatkan. Kita berdua adalah lava yang tak bisa lagi diuraikan. Sumber Gajah Mada 1958Analisis PuisiPuisi "Telah Satu" merupakan salah satu puisi cinta populer karya penyair Indonesia, Rendra. Puisi ini menceritakan tentang sepasang kekasih yang telah menyatu dalam kasih sayang dan "Telah Satu" karya Rendra memiliki beberapa hal menarik yang dapat ditemukan di dalamnya. Berikut adalah beberapa hal menarik dari puisi iniKesatuan dan Persatuan Puisi ini menekankan kesatuan dan persatuan antara dua individu yang saling mencintai. Penulis mengungkapkan bahwa gelisah satu orang adalah gelisah yang dirasakan oleh yang lainnya. Hal ini menggambarkan kedekatan dan keterikatan emosional yang kuat antara dua Objek Penulis menggunakan simbolisme objek dalam puisi ini. Engkau diibaratkan sebagai peniti yang telah disematkan, sedangkan aku diibaratkan sebagai kapal yang telah berlabuh dan ditambatkan. Dalam gambaran ini, penulis menggambarkan ketergantungan satu sama lain dan sulitnya untuk yang Tak Bisa Diuraikan Pada akhir puisi, penulis menggunakan metafora lava yang tak bisa lagi diuraikan untuk menggambarkan kekuatan dan kesatuan yang tidak bisa terpisahkan antara dua individu. Lava melambangkan keintiman dan ketahanan hubungan mereka yang tidak dapat Bahasa yang Sederhana namun Kuat Puisi ini ditulis dengan bahasa yang sederhana namun mampu menggambarkan kedalaman perasaan dan hubungan antara dua individu. Kata-kata yang digunakan menggambarkan keintiman, kebersamaan, dan keterikatan yang keseluruhan, puisi "Telah Satu" karya Rendra menggambarkan hubungan yang erat antara dua individu yang saling mencintai. Puisi ini menarik perhatian dengan penggunaan bahasa yang sederhana namun kuat dalam menggambarkan perasaan dan keintiman, serta menggugah kesadaran tentang hubungan emosional yang Telah SatuKarya Rendra lahir pada tanggal 7 November 1935 di Surakarta Solo, Jawa Rendra meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus 2009 pada usia 73 tahun di Depok, Jawa Barat. Hai teman, Balik lagi nih bareng IMYID, gak disangka - sangka ternyata beberapa postingan mengenai puisi dan prosa banyak di cari oleh kalian semua. Jadi dikesempatan pada januari 2020 yang berbahagia ini, IMYID kembali dengan beberapa postingan dengan tema bahasa Indonesia setelah hampir 2 tahun IMYID tidak update, sekarang akhirnya comeback. hehe IMYID kali ini akan share banyak sekali judul puisi dengan tema "Menyulam waktu" penasaran ? Ini dia beberapa contoh puisi tersebut 18 Contoh Puisi dengan Tema atau Topik Waktu, Menyulam waktu Menyulam waktu Perempuan itu nyatanya terlalu menginginkan hujan Ingin mendekap, dalam-dalam Sayangnya, hujan enggan cepat didekap Ia harus menghitung putaran detik di jam dinding kamarnya Berminggu-minggu, berbulan-bulan Sampai bayi merah kini telah merupa mawar merekah "Jangan hanya menunggu, lakukan sesuatu" ucap rintik di satu waktu Maka bila suatu saat nanti hujan tak mau lagi Mengalirkan harap pada dekap Setidaknya dada puan itu telah kuyup oleh gerimis Namun Mata air yang katamu benar bening, nyatanya telah kering oleh sajak yang dituturnya tiap-tiap malam Perempuan itu, telah beku. Sebelum Pulang Sebelum kau benar-benar pergi meninggalkan sepetak kesunyian di tempatku terbaring. Kumohon tinggallah sejenak, meski setengah hari untuk menyulam waktu Agar menjadi sepotong riwayat yang sempurna kita lahirkan, Mengalir indah dalam beberapa jarum waktu dan gerimis yang sangat tajam Memuaikan beberapa nama ke angkasa. Sebelum kau benar-benar pergi meninggalkan aku. Kumohon engkau mengerti perjalanan rinduku Yang terburu oleh waktu. Hanya bayang imajinasi yang bergelayut dalam pikiranku, merajut mimpi yang tersisa Kala dirimu selangkah lebih jauh dariku. Di ranjang ini, aku terbaring dan berdoa Agar kau mau untuk merangkum cerita Di tiap kergesaan menyulam waktu bersamaku. MERAWAT RINDU Masih yang tulus ku rasa sedetik pikiran tanpa tak meluka dengan sebingkai noda paling indah merona "La-la-la-la" denting relungku menjajaki hamparan jiwa Sebuah senyum di ujung waktu penuh rana Mungkin yang setia ku bawa memantik rindu tak bertepi dengan raga merajut waktu kalbu dengan nyawa Apalah sebuah nada "sya-da-du-du-da-da" hayalku tak pernah luput tanpa dia Serbuk detik ku tumpuk Misiu menit ku genggam Debu jam ku jadikan tumpu Tak peduli tampungan tahun yang ku tahu hanya menyulam waktu Hayal bukan berarti ku tak berakal Mati bukan berarti ku tak mampu menari Gila bukan berarti ku tak berdaya Ini hanya ku tak suka bahagia tanpa dia yang selalu di dada, selamanya. Putaran Ambisi Degup jantung menghempas ke seluruh tubuh Memanaskan tujuan tiap kalo tak sejalan Luapkan ambisi seisi tubuh Yang menggoncang ruang putaran Derai langkah terus berjalan Dibelakang waktu Melampaui tiap-tiap keinginan yang mulai memuncak Hingga melupakan sibuknya menuju jalan yang abadi Tanpa pikiran yang tenang Maka hari ini Akan ku sumpah Waktu lah yang selalu menungguku Menantimu Denting demi denting waktu terlalu cepat bergerak. Tetes demi tetes embun terlalu cepat mengering. Sirat demi sirat sinar terlalu cepat tersebar. Namun mataku.. Terbujur kaku menatap satu titik semu pada sebidang pintu itu. Tempat dimana bayang sosoknya tiba. Tempatku berjumpa dengan kehangatan. Butiran debu berbisik mengajakku pergi. Namun kursi tua ini terlalu nyaman untuk ku beranjak. Aku terjebak pada waktu yang enggan menjawab kapan sosok itu tiba. Besitan demi besitan bayangnya temani jenuhku. Buatku semakin enggan tuk bergerak. Ku perangi arus kesunyian. Ku arungi arus kejenuhan. Ku sulam waktu demi waktu. Untuk menghangatkanmu dengan rajutan kasih. Takdirku Sejak menatap dunia, aku bernafas dalam penjara Penjara yang membuatku sekilas nampak remaja Namun bahkan terhadap asa aku hanya menyapa Lalu kau tanpa sengaja melintasi senja Dimana aku sempat mencoba Terbangun dari semua ilusi belaka Yang sering ku anggap nyata Selaksa gemintang menjadi saksi Penantian dalam yang ku simpan di hati Tentang sebuah rasa yang sepi Karena sebuah nama yang tanpa sengaja hinggapi Penjaraku tak lagi senyap Sebab pikirku kini tlah lenyap Ikuti langkah kecilmu yang berderap Hingga Waktu Menyulam Dirinya Tertahun aku tertahan tak berlari ingin berjalan saja tak berani melupa pada terbersitnya pelangi sesudah hujan menyarukan senyummu lekas-lekas ke peraduan Aku rindu, bertemu pada tatap sayu candamu menyunggingkan lekukan mata mengedipkan tanya menggoreskan suka pada harap yang kian melonjak mengikiskan duka pada waktu hingga terasa mati Sekelumit angin menerpa datang tiada kuat tubuh menahan kering yang gersang dahaga, lelah dan lapar menyemukan bayangan sukma, raga, terlukis tertimpah rembulan Aku menunggu, menggengam tanganmu yang bukan ternyata adanya sembilu menyayat sulur-sulur darah dan nadi mengkhayal dipelukmu setinggi istana para peri menggapainya saja butuh triliyunan anak tangga Gelagar terbentang mengokohkan pelatar membangun pondasi meninggikan atap menanti hati menjadi serupa dan sediri biar melumut rambut di badan Aku menengadahkan hati, memilih kasih menyayat kalbu membiarkan pesona menipuku, menanti kau yang telah dimiliki lagi-lagi ... lepas-lepas ... didahului seberkas mentari Aku sungguh ... Matahari yang tak sudi ada mentari yang lain Namun, Diriku hanya merupa setitik air dari samudera pembelenggumu Salahku, tak menemuimu ketika pagi ... Dosaku, menjumpamu sesingkat pagi ... Kebodohanku tak menyadari hingga waktu menyulam dirinya dengan benang tak terbatas engkaulah itu Waktu Rasanya kuingin menyulam waktu. Menatap kembali ke masa lalu. Bercumbu dengan kenangan. Di saat aku ingin memilikimu sepenuhnya. Tanpa memedulikan sesiapapun. Yang terpenting adalah kamu dan aku bersama. Merajut waktu di kala rindu mencuat. Kuingin tetap tinggal di waktu lalu ini. Karena dengan bebas, aku bisa menatapmu di balik gorden ini. Menantimu berjalan menyusuri rumahku. Tertawa indah yang mampu membiusku ke dalam kehangatan. Ah, waktu. Izinkan aku kembali, hanya sekadar mengucap rasa yang tertahan ini. Izinkan aku berjuang memilikinya. Izinkan aku selalu melihat senyum indahnya. Biarkan aku menyulam waktu demi dia. Kurela berkorban demi dia. Ingin kubisikkan kata terindah padanya, bahwa aku mencintainya amat sangat. Penantian Tanpa Ujung Aku masih di sini Menantimu untuk kembali Ulangi kisah yang pernah tertulis Dengan tinta merah pena cintamu Kini setelah kau pergi Hidupku hampa tanpa dirimu Berselimut angin kesunyian Mendekap rindu dalam sendu Awan mendung hiasi wajah Datangkan hujan air mata Luapkan banjir penuh duka Di dalam badai kerinduan Hari-hariku sepi tanpamu Malamku sunyi tanpa dirimu Hatiku panas tidak terkira Dibakar api gejolak rindu Kini diriku telah terjebak Dalam penantian tanpa ujung Berharap dirimu kembali lagi Kau... yang kini telah tiada Selisik Separuh detik Angin datang pada musim klasik Ada Diaroma Seratap duka dalam kurun tanpa masa Pagi itu Angin klasik menerobos dinding Sedang, jarum kecil masih memeluk detik-detik panjang Sepotong kain bernama waktu teronggok Belum selesai sang penyulam bekerja, namun ia sudah merongok Kain itu punyaku Selisik Detik klasik Bisakah aku meminta kau melanjutkan langkah yang belum berirama? Atau, bisakah aku meminta hal sederhana ; Jadilah penyulam waktuku dengan detik-detik panjangmu. Suatu tempat, suatu waktu Aku; Wanita Separuh Baya Adalah aku, wanita separuh baya yang lugu gaya Hilang pesona digerus masa Terbelenggu sepi Terkungkung oleh histori janji Setiap hari hanya menghitung mimpi-mimpi Aku; wanita paruh baya Tinggal separuh nyawa menata eloknya dunia Tak ternyana selama ini dipenjara duka Pada bayang-bayang fatamorgana merajut setia di langit senja Barat Daya Malam-malam semakin mendiam, lalu berlalu Tetapi aku, masih saja menyulam waktu Tak bisa mengubur masa lalu dalam pekatnya kisah-kisah tabu Aha Aha! Aha! Aha! Hari masih sore Tanah masih basah Angin masih mengalir Pernak-pernik yang semula tercecer, kini menyatu dalam rangkaian Benang yang semula tebal, kini tinggal beberapa helai Bohlam yang semula benderang, hanya temaram yang ia sisakan Cinta, Aku di sini Siap menyambutmu dengan segala upaya Menyuguhkan senyum terhangat yang mungkin hanya kau dapati dariku Cinta, Kau masih ingat? Bagaimana cantiknya diriku Saat terakhir kali kau menatapku Sekarang aku lebih cantik, dari bidadari yang mungkin saat ini menemanimu Aku tidak memakai gamis hitam seperti dulu Aku tidak serapuh dulu Ketika kau meninggalkan sebuah ucap 'Sabar' Dan pergi dari gubuk terindah kita Membiarkanku menyulam sendirian Aku baru tersadar, Cinta, itu dulu Aku baru sadar bahwa sore tak pernah lagi ada Tanah sudah mengering Angin sudah berdebu Dan kau tetap tak pulang Membiarkanku dipeluk tangis Yang menghujam sepanjang malam Aku Penyulam Waktu Sunyi memaku larik-larik rindu Dalam dekap erat waktu Kutatap sulaman itu Yang kujalin perlahan dengan benang air mata Bertaburan manik kisah episode lalu Berhamburan helai tanya dukaku "Akankah kisah ini cepat berlalu?" tanyaku pada angin Mozaik kecil serpihan hati melayang pada kibaran angin berembus Masih kusulam bait puisi pasi untukmu Aku penyulam waktu Mengurai kusai detik yang lama merindu Kutunggu setengah kolase hatiku Yang tertinggal entah Dalam album waktumu Lilin Putih Temanku Lilin itu kini menyala Di sini, di bawah pohon ini Menemaniku menunggu puan kembali Lilin itu masih menyala Perlahan meleleh ke bawah Masih terasa sedikit kehangatannya Lilin itu menghiburku Menari bersama angin senja Kadang dinginnya memukul tulangku Lilin itu hampir mati Namun puan belum juga datang Apakah lupa janji tadi pagi? Lilin itu harus tetap menyala Untuk menerangi langkah kakimu Itupun jika kau ingat janjimu Lilin itu benar mati Menutup akhir puisi ini Tanpa bertemu puan sama sekali Lilin benar-benar hilang Sekarang tanpa ada kehangatan Daku meringkuk kedinginan dalam gelap malam Gulma Tak Bernyawa Dia menjelma kerdil Terasing dalam kesepian panjang Dingin, menggigil.. Mendekap angan di tepian petang Dia mengerti, Kepergian, ialah bait terakhir pada puisi Pun tentang waktu tak' pernah berkeluh Membawa kenangan yang tak jua utuh Dia Ialah dirinya, Dalam kisah gulma terluka Menghitung tiap terbit dan terbenam Menunggu takdir menghunus nyawa hingga ke akar Aku Dan Kue Ulang Tahun Hari ini aku merobek kalender baru Belum terlewat Namun mestinya sudah tamat Ini bukan hari yang kutunggu Ketika bayang wajah muncul satu-satu Pecah tangis bayi yang membuncah Dan pijak telapak yang kubimbing mengejarku Hanya sekian tahun kenangan manis senyuman Anak-anak yang menggenggam jemari Hingga ke buaian.... Kini aku memang bangga pada mereka Kedua kaki mereka telah cukup kuat berlari Lebih jauh lagi Lebih tangguh lagi Bahkan jarang datang kembali Kini aku harus tetap bangga Ketika mereka tak punya sisa waktu Sibuk mengejar impian dunia Lupa hari ulang tahun ibunya Esok hari ketika tanggal itu lewat Sekotak kue tart datang "Selamat ulang tahun Bunda" Ujar kartu ucapan Tanpa senyuman Tanpa pelukan Tanpa kerinduan Dan aku harus tetap bahagia Meniup lilin sendirian Atau kubiarkan angin malam yang meniupnya Juga pada sisa air mata Dan keluhan yang sia-sia Sembari melanjutkan sulaman Sebagai kain penghias nisan Siapa tahu mereka lupa Pada tanggal lahir ibunya Kala Rotasi Tak Berbalik Arah Demi masa Ayat Tuhan tlah ingatkan Akankah manusia hargai Perjalanan waktu Rotasi takkan bisa berbalik arah Perbaiki perbuatan yang terlanjur salah Hanya maaf terlontar Saat tersadar Intan berlian takkan bisa beli Berapapun nilainya Tak sekalipun tergantikan Takkan berulang Kala insan meremehkan Abaikan janji Ia tlah kehilangan kepercayaan Tinggalkan bekas lubang Yang tak bisa tertambal Hanya penyesalan datang Di hari kemudian Waktu bukanlah karet Yang bisa diolor Atau dianggap mirip celana kolor Dibuat longgar Agar bisa menghindar Dengan berbagai dalih Alibi ... modus … atau akal bulus Waktu tak bisa disulam Tutupi malu dan sesal Meski sekecil lubang jarum Waktu… Sedetikpun sangat berharga Doa Senjaku Tibalah kita di ambang senja Di rambutmu lembayung saga Menjelma cendera pawana Gemuruh jiwa berkidung merdu Nyanyikan rindu laksana melagu Dalam goresan bait puisi sendu Oh, indahnya senyummu di mataku Kusulam waktu dengan namamu Takkan hilang seumur usiaku Dalam diamku yang bertafakur Berucap doa memanjatkan syukur Untuk cinta yang tak terukur Seduhan Waktu Langit tak segelap. Sekat-sekat jendela, Yang menggigil bersama jemariku. Menjerat yang begitu kukuhnya. Telah tiba waktu pilihan. Berstruktur abstraksi. Di atas setumpuk jarum, Sebagian patah, kuku-kuku. Tak ingat sudah berapa lama, Masa itu berlalu. Kau lambungkan tanganmu, Membantu menadah keringat. Menyulam waktu bersamaku. Aku hanya ada dalam kegelapan hitam dan menggigil. Sertaan kertas putih ini. Coretan terakhir teruntuk diriku. Kau seduh dalam mimpi yang tak terbayang. Helaian ini, Tak akan sempurna. Tapi kau benar-benar sudah tiada. Dalam seduhan waktu, Yang kita sulam bersama dulu. Dalam dunia sastra, di Indonesia sendiri telah lahir banyak sastrawan terkemuka yang melegenda. Nama-namanya pun telah mendunia dan dapat menginspirasi bagi siapapun yang membaca dan merenungi puisi-puisinya, salah satunya ialah Rendra. Kumpulan Puisi Rendra yang Populer Dikutip dari laman rendra dikenal sebagai penyair paling kaya di Indonesia. Tak heran, karena ia sangat produktif dalam menciptakan dan memanfaatkan metafora-metafora untuk mendukung citraan dramatik dan visual dalam sajak-sajaknya. Bahkan, Rendra juga mendapatkan julukan sebagai Si Burung Merak atas penampilannya sebagai penyair yang selalu mempesona penonton. Seorang pencinta, layaknya merak yang merentangkan ekor cantiknya untuk menarik perhatian sang kekasih. Berikut kumpulan puisi Rendra 1. Temperamen Batu kali ditimpa terik matahari. Betapa panasnya! Ketika malam kembali membenam kali pun tenteram. Bulannya sejuk dan air bernyanyi tiada henti. Jika kita marah pada kekasih selamanya. 2. Bunga Gugur Bunga gugur di atas nyawa yang gugur gugurlah semua yang bersamanya Kekasihku. Bunga gugur di atas tempatmu terkubur gugurlah segala hal ikhwal antara kita. Baiklah kita ikhlaskan saja tiada janji kan jumpa di sorga karena di sorga tiada kita kan perlu asmara. Asmara cuma lahir di bumi di mana segala berujung di tanah mati ia mengikuti hidup manusia dan kalau hidup sendiri telah gugur gugur pula ia bersama sama. Ada tertinggal sedikit kenangan tapi semata tiada lebih dari penipuan atau semacam pencegah bunuh diri. Mungkin ada pula kesedihan itu baginya semacam harga atau kehormatan yang sebentar akan pula berantakan. Kekasihku. Gugur, ya, gugur semua gugur hidup, asmara, embun di bunga – yang kita ambil cuma yang berguna. Puisi Rendra Tentang Cinta Selain dua puisi populer diatas, puisi Rendra bertema cinta juga tidak kalah terkenal. Lewat bukunya berjudul Puisi-puisi Cinta yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka, Rendra membukukan 30 judul puisi cintanya. Puisi-puisi cinta tersebut ia bagi ke dalam tiga masa, yakni Puber Pertama 1954-1958 yang ia tulis pada masa kuliahnya di Universitas Gadjah Mada. Puber Kedua 1968-1977, yaitu puisi-puisi yang ditulis selepas ia kuliah di New York. Terakhir, Puber Ketiga 1992-2003, berisi puisi-puisi yang ditulisnya dalam masa reformasi 1998. Puber Pertama 1954-1958 Pada Puber Pertama terdapat 24 puisi, berisi tentang kisah percintaan remaja yang apa adanya. Manis dan romantis sekali. Disajikan berbentuk pendek, ringan, dan sederhana, tetapi sangat menunjukkan perasaan orang yang sedang dilanda cinta. Puisi-puisi itu berjudul Permintaan, Rambut, Kangen, Baju, Papaya, Sepeda, Rok Hijau, Kami Berdua, Kegemarannya, Tempramen, Pahatan, Kepada Awan Lewat, Tobat, Sepeda Kekasih, Dua Burung, Telah Satu, Optimisme, Pantun, Ayam Jantan, Janganlah Jauh, Kekasih, Angin Jahat, Membisiki Telinga Sendiri, dan Bunga Gugur. 1. Permintaan Wahai, rembulan yang bundar jenguklah jendela kekasihku! Ia tidur sendirian, hanya berteman hati yang rindu. 2. Rambut Rambut kekasihku sangat indah dan panjang. Katanya, rambut itu untuk menjerat hatiku. Kangen Pohon cemara dari jauh membayangkan panjang rambutnya maka aku pun kangen kekasihku. 3. Kami Berdua Karena sekolah kami belum selesai kami berdua belum dikawinkan. Tetapi di dalam jiwa anak-cucu kami sudah banyak. 4. Kegemarannya Pacarku gemar mendengar aku mendongeng. Dalam mendongeng selalu kusindirkan bahwa aku sangat mencintainya. 5. Pahatan Di bawah pohon sawo di atas bangku panjang di bawah langit biru di atas bumi kelabu –Istirahlah dua buah hati rindu. 6. Dua Burung Adalah dua burung bersama membuat sarang. Kami berdua serupa burung terbang tanpa sarang. 7. Telah Satu Gelisahmu adalah gelisahku. Berjalanlah kita bergandengan dalam hidup yang nyata, dan kita cintai. Lama kita saling bertatap mata dan makin mengerti tak lagi bisa dipisahkan. Engkau adalah peniti yang telah disematkan. Aku adalah kapal yang telah berlabuh dan ditambatkan. Kita berdua adalah lava yang tak bisa lagi diuraikan. 8. Optimisme Cinta kita berdua adalah istana dari porselen. Angin telah membawa kedamaian membelitkan kita dalam pelukan. Bumi telah memberi kekuatan, kerna kita telah melangkah dengan ketegasan. 9. Janganlah Jauh Janganlah jauh bagai bulan hanya bisa dipandang. Jadilah angin membelai rambutku. Dan kita nanti akan selalu berjamahan. 10. Kekasih Kekasihku seperti burung murai. Suaranya merdu. Matanya kaca. Hatinya biru. Kekasihku seperti burung murai. Bersarang indah di dalam hati. Muraiku, hati kita berdua adalah pelangi selusin warna. 11. Bunga Gugur Bunga gugur di atas nyawa yang gugur gugurlah semua yang bersamanya Kekasihku. Bunga gugur di atas tempatmu terkubur gugurlah segala hal ikhwal antara kita. Baiklah kita ikhlaskan saja tiada janji kan jumpa di sorga karena di sorga tiada kita kan perlu asmara. Asmara cuma lahir di bumi di mana segala berujung di tanah mati ia mengikuti hidup manusia dan kalau hidup sendiri telah gugur gugur pula ia bersama sama. Ada tertinggal sedikit kenangan tapi semata tiada lebih dari penipuan atau semacam pencegah bunuh diri. Mungkin ada pula kesedihan itu baginya semacam harga atau kehormatan yang sebentar akan pula berantakan. Kekasihku. Gugur, ya, gugur semua gugur hidup, asmara, embun di bunga – yang kita ambil cuma yang berguna. Puber Kedua 1968-1977 Berbeda dengan Puber Pertama yang berisi puisi-puisi cinta pendek. Di Puber Kedua puisi yang disajikan lebih panjang dan kompleks mengenai kehidupan. Puber kedua terdapat 3 puisi yang berjudul Surat Seorang Istri Siasat, 30 April 1968, Balik Kamu Balik 1972, dan Bukannya di Madrid 1977. Puber Ketiga 1992-2003 Puber Ketiga, yaitu puisi-puisi cinta yang Rendra tulis pada tahun 1992-2003. Terutama di masa reformasi 1998, hal itu karena Rendra juga semakin terbuka dengan wajah negara dan ketatanegaraan. Maka dari itu, ketiga puisi terakhir pada Puber Ketiga berisi penyadaran kritis ketatanegaraan dan antropologis kebangsaan Indonesia. Ketiga puisi-puisi cinta itu berjudul Sajak Cinta Ditulis Pada Usia 57, Hai Ma!, dan Barangkali Karena Bulan. 1. Sajak Cinta Ditulis pada Usia 57 Setiap ruang yang tertutup akan retak karena mengandung waktu yang selalu mengimbangi Dan akhirnya akan meledak bila tenaga waktu terus terhadang Cintaku kepadamu Juwitaku Ikhlas dan sebenarnya Ia terjadi sendiri, aku tak tahu kenapa Aku sekedar menyadari bahwa ternyata ia ada Cintaku kepadamu Juwitaku Kemudian meruang dan mewaktu dalam hidupku yang sekedar insan Ruang cinta aku berdayakan tapi waktunya lepas dari jangkauan Sekarang aku menyadari usia cinta lebih panjang dari usia percintaan Khazanah budaya percintaan… pacaran, perpisahan, perkawinan tak bisa merumuskan tenaga waktu dari cinta Dan kini syairku ini Apakah mungkin merumuskan cintaku kepadamu Syair bermula dari kata, dan kata-kata dalam syair juga meruang dan mewaktu lepas dari kamus, lepas dari sejarah, lepas dari daya korupsi manusia Demikianlah maka syairku ini berani mewakili cintaku kepadamu Juwitaku belum pernah aku puas menciumi kamu Kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca Kamu adalah lumut di dalam tempurung kepalaku Kamu tidak sempurna, gampang sakit perut, gampang sakit kepala dan temperamenmu sering tinggi Kamu sulit menghadapi diri sendiri Dan dibalik keanggunan dan keluwesanmu kamu takut kepada dunia Juwitaku Lepas dari kotak-kotak analisa cintaku kepadamu ternyata ada Kamu tidak molek, tetapi cantik dan juwita Jelas tidak immaculata, tetapi menjadi mitos di dalam kalbuku Sampai disini aku akhiri renungan cintaku kepadamu Kalau dituruti toh tak akan ada akhirnya Dengan ikhlas aku persembahkan kepadamu Cintaku kepadamu telah mewaktu Syair ini juga akan mewaktu Yang jelas usianya akan lebih panjang dari usiaku dan usiamu 2. Hai, Ma! Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku tetapi hidup yang tidak hidup karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya ada malam-malam aku menjalani lorong panjang tanpa tujuan kemana-mana hawa dingin masuk kebadanku yang hampa padahal angin tidak ada bintang-bintang menjadi kunang-kunang yang lebih menekankan kehadiran kegelapan tidak ada pikiran, tidak ada perasaan, tidak ada suatu apa. Hidup memang fana, Ma tetapi keadaan tak berdaya membuat diriku tidak ada kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara dijauhi Ayah Bunda dan ditolak para tetangga atau aku terlantar di pasar aku bicara tetapi orang-orang tidak mendengar mereka merobek-robek buku dan menertawakan cita-cita aku marah, aku takut, aku gemetar namun gagal menyusun bahasa. Hidup memang fana, Ma itu gampang aku terima tetapi duduk memeluk lutut sendirian di savana membuat hidupku tak ada harganya kadang-kadang aku merasa ditarik-tarik orang kesana kemari mulut berbusa sekadar karena tertawa hidup cemar oleh basa basi dan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan yang tanpa persoalan atau percintaan tanpa asmara dan sanggama yang tidak selesai Hidup memang fana tentu saja, Ma tetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola mengacaukan isi perutku lalu mendorong aku menjeri-jerit sambil tak tahu kenapa rasanya setelah mati berulang kali. Tak ada lagi yang mengagetkan dalam hidup ini. Tetapi Ma, setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku ini aku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhku. Kelenjar-kelenjarku bekerja sukmaku bernyanyi, dunia hadir cicak di tembok berbunyi tukang kebun kedengaran berbicara pada putranya hidup menjadi nyata, fitrahku kembali. Mengingat kamu Ma, adalah mengingat kewajiban sehari-hari kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi kita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma? masing-masing pihak punya cita-cita masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata Hai Ma! apakah kamu ingat aku peluk kamu di atas perahu ketika perutmu sakit dan aku tenangkan kamu dengan ciuman-ciuman di lehermu? Masyaallah… Aku selalu kesengsem pada bau kulitmu Ingatkah waktu itu aku berkata kiamat boleh tiba, hidupku penuh makna Hehehe waahh.. Aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini dan apabila aku menulis sajak aku juga merasa bahwa kemaren dan esok adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan sama saja. Langit di luar, langit di badan bersatu dalam jiwa. Sudah ya, Ma… Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Puisi adalah salah satu jenis karya sastra. Menurut Menurut Waluyo dalam Azizah 2015 puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata yang kias atau imajinatif. Puisi diringkas dengan kata-kata yang indah sehingga dapat disebut sebagai mahakarya. Setiap puisi pula memiliki pesan setiap baitnya, maka setiap penyair atau pencipta puisi memiliki gaya kepenulisannya atau ciri khas Indonesia, banyak sekali penyair-penyair terkenal, WS Rendra contohnya. Rendra atau lengkapnya Wahyu Sulaiman Rendra adalah penyair terkenal dengan ciri khas puisinya yaitu tentang isu-isu sosial seperti kesenjangan dan masalah lingkungan lainnya. WS Rendra bahkan mengatakan bahwa "Apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan? Apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah keshidupan". Kutipan tersebut menggambarkan bahwa puisi bukan hanya bait-bait dengan keindahan semata. Salah satu karya WS Rendra adalah Sajak Orang Kepanasan. Puisi Sajak Orang Kepanasan adalah puisi bertemakan sosial. Dari judulnya menggambarkan bahwa puisi ini mewakili orang dengan status sosial dibawah. Hal tersebut dapat diperjelas lagi melalui bait puisi yaitu "Karena kami telantar dijalan dan kamu memiliki semua keteduhan" yang dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan atau kesenjangan antara orang kaya dengan kehidupannya yang mewah nan nyamannya dan orang miskin dengan kehidupannya yang susah. Puisi ini memiliki banyak pesan didalamnya, maka dari itu mari kita analisis lebih lanjut mengenai puisi Sajak Orang Kepanasan karya WS Rendra ini. Sajak Orang KepanasanOleh WS RendraKarena kami makan akardan terigu menumpuk di gudangmu. Karena kami hidup berhimpitandan ruangmu berlebihanmaka kita bukan sekutu. 1 2 3 4 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya

puisi waktu karya ws rendra